Dia seorang mercenary, tentara bayaran, setidaknya begitulah dia mengidentifikasikan dirinya. Memang dia penggemar film Wild Geese, kisah sekelompok mercenary di belantara Afrika yang diperankan oleh Richard Burton, Richard Harris dan Roger Moore.
Mercenary, menurut Dia adalah profesional yang sesungguhnya. Karena mercenary hidup dan matinya betul-betul mengandalkan keterampilan dan kesiapan tempurnya. Kerjanya seringkali seorang diri, soliter, kadang dengan anggota tim yang kontraknya tidak sepenuhnya Dia ketahui. Beda dengan pasukan reguler yang bisa mengandalkan dukungan pasukan lain, peralatan tempur dan komunikasi yang lengkap, termasuk pasokan logistik yang mengalir mengikuti gerak pasukan. Bagi mercenary, andalannya hanyalah dirinya sendiri. Mulai dari strategi, taktik manuver, pilihan senjata, pasokan logistik, semuanya direncanakan dan disiapkannya sendiri.
Dia berujar bahwa keandalan seorang mercenary terletak pada fokus tugasnya. Tugas ditangkap seorang mercenary sebagai sesuatu yang fokus dan tunggal, tidak pecah-pecah, ambivalen atau saling kontradiksi. Apakah itu karena tugasnya cuma membunuh atau menculik seseorang, just it? Tidak juga katanya, karena seringkali juga harus memenangkan pertempuran, meng-goal-kan suatu misi. Tetapi seorang mercenary tetap fokus pada satu misi.
Untuk menjaga fokus, kewaspadaan dan kesiapannya, mercenary sengaja tidak melibatkan dirinya dengan politik, politik negara, apalagi politik kesatuan, politik kantor. Hubungan antar pribadi dengan mitra tugas, selalu dijaga untuk tetap profesional, tidak larut atau ”masuk-ke-hati”.
Lalu apa menariknya dari kerja soliter seperti itu? Dia memang tidak menjawab langsung. Namun dari banyak ceritanya Dia sangat membanggakan achievement-nya, prestasi-prestasi tempur yang walau tidak selalu dimenangkan, namun membawa banyak pengalaman yang menarik. Petualangan dari wilayah-wilayah yang berbeda, pertemuan dengan jenis manusia yang bervariasi, memberinya pelajaran yang luas. Apalagi kontras-kontras yang sering dilaluinya dengan cepat. Dari acara dinner bersama raja-raja minyak di hotel mewah di metropolitan dunia, tiba-tiba malam berikutnya berpindah ke gubug di belantara Borneo, bersama suku pedalaman yang berbusana kulit kayu separo badan. Dari nikmatnya tenderloin setengah matang diiringi live music merdu, berganti dengan ubi bakar di sekitar api unggun dan diiringi dengung nyamuk yang siap menyengat.
Mungkin itu yang membuatnya tetap awet muda, tetap ”jagoan”. Tidak seperti teman-temannya yang masih atau pensiun dari kesatuan, yang rata-rata tampak loyo, ceritanya sekitar kekecewaan atas kekeruhan administrasi, atasan atau teman yang melupakan. Berbeda dengan si mercenary yang harus selalu latihan menembak, lempar pisau, setidaknya lari pagi, atau menulis kisah di think-pad mini nya. (hrm)
Friday, December 22, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment