Mereka memanggilku Cika. Aku tumbuh dan besar di tatar Pasundan di lembah Citarum. Kulitku putih bening, kesukaan orang kota. Pulen katanya. Aku pikir sudah suratan alam, aku jadi pemuas orang kota, untuk itu aku merasa puas juga. Bagaimana aku sampai di ibukota, itu adalah kisah perjalanan yang panjang dan berliku.
Perjalanan panjang sebagai saksi atas segala suka duka yang dialami petani di desa. Aku telah menjadi saksi atas segala kerja keras. Saksi atas harapan yang nyaris sia-sia namun tak putus jua. Aku menjadi saksi atas kegetiran demi kegetiran, tipuan demi tipuan yang alami ribuan petani. Mungkin teman-teman segara mengira aku adalah aktivis pembela petani marginal? Bukan teman-teman.
Aku menjadi saksi karena aku tumbuh dan besar ditangan pasangan petani di tatar Pasundan, di lembah Citarum. Aku dibesarkan oleh pasangan petani yang bahagia. Yang merawat tanah sawahnya sejak turun dari sholat subuh di surau desa. Mereka menyiapkan tanah, menyiapkan benih, memastikan air irigasi mengalir cukup, menabur pupuk, untuk menjamin benih tumbuh sehat. Sudah tentu juga menabur harapan dan doa agar aku tumbuh besar, montok dan sehat.
Saat menjelang tengah hari, saat para pak tani menggarap tanah atau menyiangi sawah yang sudah menghijau, adalah saat para perempuan desa beriringan di pematang dengan canda gurau mengantar ransum makanan buat para pak tani. Biasanya mereka langsung disambut iringan senyum dari para pak tani. Ada juga di antaranya gadis-gadis yang mengantar ransum ayahnya. Jika diantara pak tani ternyata ada kang tani yang bujangan ceritanya bisa lebih romantis. Senyum manis dan kecerahan harapan terpancar di wajah-wajah mereka.
Cahaya harapan kian berkilau gemerlap manakala hamparan sawah berganti warna, dari hijau menjadi kuning keemasan. Kegiatan mencangkul menggarap tanah berganti menjaga padi kemuning dari serangan burung-burung pemakan padi. Para pak dan kang tani lebih banyak di gubuk atau dangau di tengah sawah.
Seperti yang sudah-sudah, menjelang tengah hari para perempuan desa beriringan di pematang dengan canda gurau mengantar ransum makanan buat para pak tani dan kang tani. Tapi kali ini di sambut lagu-lagu dangdut kesayangan dari radio/kaset dari gubug-gubug dan dangau-dangau. Segeralah mereka bernyanyi-nyanyi, ada juga yang menari-nari seperti di iklan tivi atau sinetron si Kabayan dan si Iteung.
Masa-masa menanti panen adalah masa paling bahagia. Kehidupan penuh kesibukan dan harapan yang terpancar pada senyum dan wajah-wajah ceria dari para keluarga tani dan seisi desa. Saat laki perempuan, tua muda, warga desa dan para tetangga berduyun-duyun dengan ani-ani memotong padi di sawah. Dilanjutkan pesta kenduri desa kala panen raya
Mereka memanggilku Cika. Aku tumbuh dan besar di tatar Pasundan di lembah Citarum. Kulitku putih bening, kesukaan orang kota. Pulen katanya. Aku pikir sudah suratan alam, aku jadi pemuas orang kota, untuk itu aku merasa puas juga.
Aku menjadi saksi saat ketua koperasi desa berkata:"Pak, harga gabah saat ini sesuai ketentuan pemerintah sekian. Jadi kalau kita kalikan dengan hasil panen yang bapak serahkan, dikurangi hutang harga benih, pupuk, semprotan anti hama, biaya penyuluhan, iuaran dan sumbangan hari koperasi, bersih desa, maka bersyukurlah bapak akan menerima sekian." Kulirik raut wajah Pak Tani pengasuhku yang mengerutkan dahi, bingung. Mungkin otak dikepalanya sedang bekerja cepat memikirkan angka "sekian" yang diucapkan ketua koperasi itu. Kok jauh beda dengan angka "sekian" yang didengarnya di tivi semalam, yang mengabarkan kelangkaan beras dan kunjungan menteri perdagangan ke pasar Jatinegara. Bingung antara mau bertanya atau tidak. Tapi seperti ada yang memerintahkan keduanya, Pak Tani dan kepala koperasi bebarengan memandang fotokopi edaran harga beli gabah yang ditempel didinding luar kantor koperasi desa itu. Sejenak ragu, tapi kemudian perhatiannya beralih menyaksikan petugas bayar yang menghitung uang. Matanya jadi berbinar melihat uang yang segera diikat karet gelang itu. Antara menerima dan pasrah akhirnya dia paksakan untuk mensykuri. Inilah hasil jerih payahku, pikirnya, beruntung musim kali tak ada musibah hama ataupun banjir, tidak seperti daerah lain. Maka sambil menepuk-nepuk punggungku dia berkata: "Alhamdulillah, semoga jadi berkah bagi keluarga, dan bagi orang di kota."
Selesai bagi Pak Tani, tapi tidak selesai bagiku. Pertanyaan soal harga "sekian" masih menjadi ganjalan bagiku. Maka aku berpamit kepada semua warga desa ntuk mengawali petualangan panjang mencari jawab, mengapa "sekian" di tivi, beda dengan "sekian" yang ditentukan bagi petani di desaku.
Aku di lepas di batas desa oleh seluruh petani yang membesarkan diriku dengan penuh harapan akan menyambung generasi mereka. Karena itu bukan tangisan tapi senyum harapan yang menyertai kepergianku ke kota. Aku jadi percaya diri karenanya, kubayangkan segera menikmati sejuk dan nyamannya rumah-rumah gedung seperti di sinetron tivi swasta. Nyatanya jarak ke ibukota yang hanya seratus kilometer itu harus kulalui bagai labirin. Kendaraan yang membawaku mampir dulu di warung-warung gelap di tepi jalan yang berkelok-kelok. Mampir lagi ke gudang, gudang dan gudang berkutnya. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan aku harus menginap di ruang-ruang pengap dan gelap ketika malam. Entah kapan sampai di ibukota. Aku menjadi bosan, lelah dan takut. Terus terang saja disamping ingin menjawab pertanyaan beda "sekian" dengan "sekian" itu, sebetulnya aku juga ingin menyaksikan gemerlapnya kehidupan ibukota. Suasana ruangan yang pengap dan gelap ini mengundang lamunan. Aku kembali membayangkan memasuki suasana nyaman rumah-rumah gedongan yang mewah, keramaian suasana mal-mal dan pertokoan yang dipenuhi baju-baju. Seperti di sinetron-sinetron yang tiap malam kusaksikan di tivi, setelah pulang dari mengaji. Aku mendadak tersadar ketika dari radio penjaga malam terdengar nyanyian Ike Nurjanah "terlena ...ooo.. oo, ku ter-le-na."
Aku tidak sempat istirahat lagi karena setelah itu terdengar deru truk-trk yang berdatangkan di luar ruang. Lalu terdengar derak pintu sorong yang dibuka, sinar lampu merkuri dari luar meyorot menyilaukan, dan masuklah beberapa laki-laki. Salah seorang yang perutnya buncit berteriak:"Muat semua ke atas truk. Besok subuh semua sudah harus tiba di Jatinegara," sambil memeriksa kami sepintas dia melanjutkan,"Jangan sampai kesiangan karena ada kabar usulan impor beras sudah disampaikan ke dewa. Saat ini puncaknya harga. Karena begitu koran memberitakan maka harga anjlog."
Masih belum terjawab pertanyaanku ketika kami sudah dalam perjalanan. Tak terbayangkan bahwa akhirnya aku masuk juga ke ibukota. Tapi dengan cara dan suasana yang jauh dari harapan. Subuh itu juga kami sampai di Jatinegara. Setelah beres-beres maka aku siap melayani permintaan orang-orang yang berdatangan. Makin siang makin ramai. Tapi setelah sepanjang hari mengamati orang-orang yang berdatangan aku jadi tahu kalau ditempatkan di kelas murah. Sekali lagi ini bukan yang kami harapkan, juga harapan para petani yang membesarkan ku.
Seolah memahami apa yang aku pikirkan pengantar ku kesini bertanya pada orang Jatinegara itu:"Mengapa kamu kelompokkan ini ke dalam kategori kualitas rendah?"
Orang Jatinegara itu spontan menjawab:"Yang ini warnanya sudah kusam. Orang gedongan tidak akan menyukainya. Mereka lebih menyukai yang masih segar, mulus yang baru datang dari Thailand dan lembah Mekong."
Mereka memanggiku Cika, tapi lengkapnya Cianjur Kepala. Aku tumbuh dan besar di tatar Pasundan di lembah Citarum, entah dimana tepatnya mungkin di Cikampek, Cikalong, Cikapundung mungkin juga Cicalengka. (RM, Jakarta, 27/01/2007, 13:10:20) @@@
Thursday, February 08, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment