Dalam kehidupan sehari-hari tiap orang mempercayai ini dan itu, yang boleh jadi menguntungkan atau sebaliknya merugikan dirinya dan orang lain. Kepercayaan tersebut dilatar belakangi oleh sistem nilai yang diyakininya.
Sebagai contoh, jika Anda yakin pada "rasa percaya" atau amanah (trust) itu ada, maka Anda akan mudah meyakini bahwa:
- Orang lain dapat dipercaya
- Peraturan yang ketat tidak diperlukan
- Orang dapat mengatur jadawalnya sendiri
- Anak kita akan langsung pulang dari sekolah.
Sebaliknya jika "rasa tidak percaya" yang mendominasi keyakinan kita, maka yang kita pikirkan:
- Hanya orang bodoh yang mempercayai orang lain
- Peraturan ketat harus dibuat supaya orang tidak
- Jika tidak diawasi maka orang akan bertindak menunda-nunda pekerjaannya
- Anak harus sering ditilpon agar dari sekolah tidak mampir ke mal.
Rasa percaya atau tidak percaya itu terbentuk dari pengalaman dan pengetahuan. Pengalaman, artinya kita sering mengalaminya, sehingga terbentuk kepercyaan, atau prediksi. Misalnya, rapat di kantor anu selalu telat dan molor, sehingga setiap ada undangan ke kantor itu kita percaya akan telat dan molor waktunya.
Kita tidak mengatakan bahwa kepercyaan itu salah atau tidak tepat, tetapi mengajak untuk selalu menguji apakah kepercayaan tersebut tidak menjadi kendala atau penghalang bagi kita. Sekali kepercayaan itu terbentuk dalam pikiran, ia akan menjadi bagian dari sistem nilai yang kita anut, dan otomatis mempengaruhi sikap kita atas banyak hal. Kalau seorang ibu meyakini anaknya malas, lalu fokus pada mencari bukti bahwa anaknya malas, dan berulangkali mengatakan anaknya malas. Maka, si anak juga jadi ikut percaya, atau pasrah pada antisipasi ibunya bahwa dia malas, dan dia menjadikannya sebagai alasan. "Abis saya memang anak yang malas."
Dengan keyakinan itu, kita akan cenderung mencari bukti yang menguatkannya. Oleh karena keyakinan itu bersifat personal, maka seseorang akan cenderung mempertahankannya, dan mencari terus bukti, konsistensi dari keyakinan itu. Ini bagus kalau keyakinan itu positif. Jika keyakinan itu negatif, maka orang tersebut akan melihat "dunia" dengan kacamata negatif terus.
Kepercayaan yang menghambat itu bisa datang dari lingkungan sekitar, dari orang tua, saudara, guru, teman, atasan, rekan sekerja. Ada yang tertanam karena berulang-ulang dikatakan orang. Ada juga komentar orang sekali saja, tapi dampaknya menghunjam dalam, karena diucapkan di depan umum misalnya. Ada juga "kegagalan" yang berulang kali dialami sehingga yang bersangkutan percaya kalu dirinya memang tidak bakat, kalau ini ditambah dengan komentar satu orang saja, maka mendalamlah kepercayaan negatif itu.
Kabar baiknya adalah bahwa kepercayaan negatif ini ternyata bisa diprogram ulang.
Apakah kita terkendala oleh kepercayaan negatif yang menghambat?
Keyakinan yang menguasai kita terkadang sudah sangat dalam, sehingga merubahnya sudah sulit. Namun yang penting kita bisa senantiasa menyadari adanya keyakinan tertentu dalam pikiran, sehingga bila perlu harus diubah. Mengenali adanya keyakinan negatif tersebut misalnya dari perkataan yang sering terucap:
- Saya tidak bisa ...
- Orang seharusnya ...
- Mereka tidak pernah mau ...
- Semua orang berfikir ...
Beberapa contoh klasik misalnya:
- Saya tidak bisa bergaul
- Tidak ada orang yang mau mendengarkan omongan saya
- Dia orangnya plin-plan
- Belajar matematik itu sulit.
Teknik menggoyahkan keyakinan negatip
Berikut ini kiat bagaimana menggoyang keyakinan yang negatif:
Manakala Anda mendengar diri sendiri mengucapkan, atau berfikir, seperti contoh negatif di atas, maka pendekatan di bawah ini dapat dicoba:
Langkah pertama. Goyahkan akar keyakinan tersebut dengan menantang dan mempertanakannya. Cobalah jawab beberapa pertanyaan berikut:
Apakah saya selalu meyakininya? (Aku tidak bisa bergaul)
Dari mana sebetulnya keyakinan negatif ini datangnya?
Apakah keyakinan ini masih benar?
Apakah buktinya yang mendukung keyakinan ini?
Siapakah orang yang kita kenal mempunyai keyakinan yang sebaliknya?
Apakah bukti yang mendukung bahwa keyakinan ini salah?
Dalam hal atau situasi apa, bahwa keyakinan kita itu tampak mengada-ada, aneh dan lucu?
Langkah kedua. Temukan alternatif, suatu keyakinan yang berbeda, yang lebih positif. Ini bisa dilakukan dengan melakukan brainstorming, identifikasi keyakinan-keyakinan lain yang mungkin. Mencoba-coba variasi dari berbagai keyakinan sampai didapat yang rasanya cocok dan positip. Buat keyakinan baru itu dalam pernyataan positip, misalnya, "Saya berbakat menulis dan saya senang latihan menulis."
Langkah ketiga. Integrasikan keyakinan alternatif itu. Bayangkan bagaimana perubahan situasi setelah menerapkan "keyakinan" itu. Bagaimana perasaan Anda dengan perubahan itu. Bayangkan Anda jadi bisa melakukan apa yang betul-betul ingin Anda lakukan. Bayangkan adanya percakapan tentang keyakinan baru. Apakah lebih memotivasi Anda? Apakah membuat perasaan lebih enak? Kalau memungkinkan bisa dicoba juga dengan "keyakinan" yang lain lagi, dengan proses yang sama. Dan, akhirnya pilih yang paling membuat Anda nyaman. Sebelum akhirnya memilih dan menerapkan satu kepercayaan, ada baiknya dipertimbangkan pengaruhnya terhadap orang lain di sekitar.
Beri selamat kepada diri sendiri yang telah mencoba mengendalikan nasib sendiri, dan telah menyingkirkan keyakinan negatif dan menggantinya dengan yang lebih positip.
Dengan menerapkan keyakinan berbeda yang bersifat positip, tantangannya adalah menjadikannya kebiasaan, sehingga keyakinan positip tersebut bekerja secara alamiah. [Risfan Munir]
Saturday, December 15, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment