Saturday, January 03, 2009

Linguae


Kadang "realita" seperti "tak masuk akal." contohnya orang yang menurut kita sudah jelas-jelas bersalah, kok divonis bebas. Sebaliknya, yang sering kita rasa di tempat kerja, kita yang merasa kerja baik, jujur, kok disalahkan. Sementara orang lain yang kerjanya bual-membual terus, kok yang dipromosi. Tidak masuk akal.

Tapi percayalah, semua yang "tak masuk akal" juga yang fiksi, ternyata "masuk akal" juga. Buktinya bisa membuat kita sewot, jengkel. Kalau semua itu cuma lewat kuping kiri keluar kuping kanan, masuk mata kiri keluar lagi lewat hidung, baru namanya "tak masuk di akal."
Sebel kan?!. Itulah pengalaman saya setiap membaca kumpulan cerita pendek (cerpen) nya Seno Gumira Ajidarma (SGA).

Dalam NLP (neuro linguistik program) dikatakan, pikiran bawah sadar kita tak menghiraukan kata "tidak" atau negasi. Kalau kita mengatakan, "jangan sedih", "tidak sakit". Maka yang ditangkap otak bawah sadar hanya kata "sakit, sedih"nya.

Silahkan dibuktikan dengan ungkapan SGA,"..., aku mencintai seorang perempuan yang tidak pernah ada. Jika dia memang ada, tentunya ia sedang berdiri disana, di pulau tanpa nama itu, dalam remang senja tanpa langit yang kemerah-merahan tanpa mega bersepuh cahaya keemas-emasan tanpa segala sesuatu yang seperti biasanya..." (Cerpen: Senja di Pulau Tanpa Nama). Pikiran kita tetap membayangkan adanya perempuan dan senja keemasan, walau SGA menegaskan "tidak, tanpa."

Itulah sedikit cuplikan dari buku kumpulan cerpen SGA "Linguae" yang berisi 14 cerpen, yang ditulis dalam kurun 2000-2007, terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2007.

Pemujaannya pada laut, pantai dan senja dalam kumpulan cerpen Linguae ini terungkap pada judul-judul cerpen: Cintaku Jauh di Komodo, Perahu Nelayan Melintas Cakrawala, dan Senja di Kaca Spion.

"Jangan berpikir, kataku dulu, juga jangan berpikir tentang pikiran ikan-ikan. Pikiran kita sendirilah yang menghancurkan dunia nyata. Tatap saja cakrawala itu." Ini contoh ungkapan pada cerpen Perahu Nelayan Melintas Cakrawala, dilanjutkan dengan, "Nelayan itu hanya sendirian saja di atas perahunya. Bagaikan sendirian di tengah dunia. Ini seperti gambar sebuah katu pos, yang memberi perasaan terasing seorang musafir di tengah perjalanannya...." di bagian lain, "Bagaimana rasanya hidup dalam kartu pos? Waktu membeku dan di luarnya waktu tetap berjalan. Siapakah yanh hidup di dalam kartu pos? Akukah, atau kamu?"

Pada cerpen Senja di Kaca Spion tertulis,"Senja semburat dengan dahsyat di kaca spion. Sangat menyedihkan betapa di jalan tol aku harus melaju secepat kilat ke arah yang berlawanan. Di kaca spion, tengah, kanan, maupun kiri, tiga senja dengan seketika memberikan pemandangan langit yang semburat jingga,..."

Masih soal kaca, pada cerpen Cermin Maneka terungkap,"Di depan cermin Maneka tertegun. Ia tidak melihat dirinya..... Dia juga tidak melihat kamarnya.... Di dalam cermin itu ia melihat hutan.... Wah, cerminnya tidak berkaca. Cermin tempatnya berhias yang bulat tinggal sebuah bingkai menuju ke dunia lain...."

Kesan surealis juga jelas pada cerpen Rembulan dalam Cappuccino seperti,"Cappuccino dalam cangkir itu seperti lautan berwarna cokelat, dan rembulan itu datang langsung dari langit, tercemplung ke dalam cangkir, tenggelam sebentar, tapi lantas terapung-apung seperti bola pingpong - tapi ini bukan bola pingpong, ini rembulan."

Biasanya setiap membaca koran ada saja berita yang membuat gemas, jengkel, marah, karena banyak yang "tidak masuk akal." Tetapi setelah menyelami cerpen-cerpen SGA ini rasanya kok berita atau realita itu tak beda dengan fiksi. Tak perlu jengkel lagi, sudah plong (atau gila).

Latihan olah pikiran dengan membaca cerpen-cerpen SGA ini rasanya kok penting. Apalagi sebentar lagi pemilu, iklan politik dimana-mana. Kata ahli, "citra" yang tercipta dari iklan itulah yang menentukan keterpilihan calon. Jadi bukan realita dan perbuatan nyata dari si calon?!. Kata teman yang konsultan kampanye, bukan si calon yang mampu mengumpulkan ribuan massa di lapangan, tapi penyanyi dangdutnya. Realita dan fiksi? Ah, sama sama "masuk di akal." [Risfan Munir, pengasuh weblog http://ecoplano.blogspot.com/]


Thursday, January 01, 2009

Buku: The Alchemist




Sang Alchemist (si ahli kimia) merupakan buku kisah perjalanan yang sungguh mengasyikkan. Pengarang, Paulo Coelho, memang piawai bertutur cerita.

Secara harfiah ini merupakan kisah perjalanan seorang anak gembala dari Spanyol, menyeberang dan menjelajah sepanjang Afrika utara mulai dari pendaratannya di Tangier, ke arah dimana Piramid-piramid berada sebagai tujuan perjalannya untuk mendapatkan petunjuk dimana harta karun yang dipesankan dalam mimpinya berada.

Perjalanan dari kota Tangier dilanjutkan dengan petualangan melalui gurun pasir yang beratus kilometer jauhnya, lalu mampir di oasis besar. Oasis ini punya 300 mata air, ditumbuhi oleh ribuan pohon kurma.

Di oasis inilah dia bertemu Fatima, gadis gurun pasir yang memikatnya sejak pandangan pertama. Tanpa berbelit, Fatima pun menyambutnya pada pandangan pertama itu juga. Pertemuan demi pertemuan dilanjutkan di jalan menuju ke tempat Fatima mengambil air tiap pagi.

Di oasis besar itu pula si anak bertemu dengan Sang Alchemist. Ini bukan ahli kimia dalam pengertian harfiah, tetapi “pemurni emas atau kemuliaan.” Tokoh spiritual sekaligus “singa padang pasir” yang kemudian banyak memberikan "palajaran" terutama bagaimana mencapai titik akhir perjalanannya menuju Piramid-piramid dimana petunjuk harta karun yang dicarinya berada.

Seperti dapat diduga dari judulnya, buku ini syarat akan pesan-pesan hidup. Dimulai dengan keresahan pikiran dan hati si anak gembala yang gemar membaca buku itu. Perjalanannya bersama domba-dombanya dari padang rumput ke padang rumput, dari kota ke kota, membuatnya banyak bertemu dengan bermacam orang, yang membuatnya banyak berfikir. Hingga akhirnya mendorongnya untuk menjual semua dombanya, untuk memenuhi panggilan "kata hati"nya mencari petunjuk harta karun ke negeri dimana Piramid-piramid berada.

Perjalanan ke Mesir itu dalam makna tersirat sesungguhnya merupakan perjalanan atau "evolusi" diri menuju "panggilan jiwa", menuju suratan takdir atau Maktub (ingat kata 'termatub').

Seringkali kita mendapat ide, ilham untuk mengembangkan sesuatu, bahkan firasat bakat pada jalur profesi tertentu. Namun sering kita tidak berani melaksanakannya, karena berbagai alasan. Takut akan perubahan, takut tidak bisa makan, dst. Yang terjadi kemudian 'petunjuk kata hati', ide-ide dan ilham-ilham itu menjadi samar (karena tidak kita dengarkan) dan mungkin akan menghilang, atau akan menghantui kita setiap saat.

Kisah dalam buku ini menunjukkan bahwa kalau ide demi ide, ilham demi ilham kita ikuti, kita akan berkembang terus, ber"evolusi", menjadi diri kita yang maksimal sesuai "panggilan Maktub" kita. Yang menarik Paulo Coelho menggambarkannya lewat pemilik toko kristal (gelas, lampu) yang tahu "panggilan" untuk berhaji. Yang juga telah memperjuangkannya dengan mengumpulkan uang melalui dagang kristal. Namun akhirnya dia tak kunjung berangkat ke tanah suci, karena takut kalau dia laksanakan cita-citanya itu dia akan kehilangan motivasinya untuk bekerja. Maka dia pelihara cita-citanya itu sebagai motivasi semata.

Sebaliknya, bagi si anak, dia tak ingin status quo itu. Dia penuhi setiap "panggilan" yang datang lewat "pertanda-pertanda" yang datang kepadanya, yang mendorongnya untuk terus berubah. Ini juga membuat punya kemampuan yang kian tajam dalam membaca petanda-petanda. Membuatnya mampu berdialog dengan "bahasa alam (Jiwa Dunia)" yang universal, sehingga tak soal apakah lawan bicara berbahas Arab atau Spanyol. Bahkan memungkinkannya berdialog dengan domba, elang, angin, pasir, dan dengan bathin.
Pesan-pesan dalam novel ini kiranya bisa dipakai untuk pengingat akan pesan "manajemen perubahan", karier, keluarga, atau perjalanan spiritual dalam diri sendiri, menuju tangga spiritual yang lebih tinggi. Pada pengantar bukunya yang lain, The Fifth Mountain, Coelho menyampaikan bahwa inti dari The Alchemist adalah pada pesan Raja Melkisedek kepada si anak gembala, “Kalau engkau mendambakan sesuatu, alam semesta bekerja sama membantumu memperolehnya.” Ini mengingatkan saya pada buku Johanes Surya, Mestakung, (semesta mendukung). Kalau kita puny aide dan melaksanakannya secara habis-habisan, maka semua yang kita butuhkan, semesta akan mendukung kita.

Yang menarik lagi, novel ini dikarang oleh Paulo Coelho yang berkebangsaan Brasil, dan menjadi best-seller dunia. Diterjemahkan dalam 56 bahasa. Biasanya orang barat mengambil "kearifan Timur" dari Tao atau Zen, tapi Alchemist mengangkat kearifan spiritual Islam. Meskipun semuanya sesungguhnya berlaku universal. Banyak pesannya yang mengingatkan pembaca muslim akan pesan Al-Quran, bahwa "dalam kejadian langit dan bumi, pergantian siang dan malam, pergerakan matahari, rembulan, gunung, angin dan ombak, sesungguhnya merupakan tanda-tanda bagi mereka yang berfikir." Coelho juga menyebut lima rukun Islam dengan urutan yang benar. Juga menyinggung kisah prakiraan musim yang disampaikan nabi Yusuf as.
Pesan-pesan tersebut tersampaikan secara tersirat dan tersurat, tanpa terasa 'menceramahi’, karena kekuatan dan keindahan bercerita Sang Alchemist…eh pengarang.
[Reviewer: Risfan Munir, http://urbaneconomic.blogspot.com/ ]

Saturday, November 08, 2008

Kentut Kosmopolitan


Hidup di kota besar seperti Jakarta apalagi sampai tua bisa menghabiskan umur di tempat kerja dan di jalan, bisa membuat manusia (Homo Jakartensis) kehilangan makna alias mehong. Untuk itu diperlukan permenungan, obrolan, setidaknya dengan diri sendiri tentang makna dari pengalaman keseharian yang bisa dikatakan penuh tantangan, impian, ataupun ilusi, kerutinan, kebosanan, juga kelucuan dan keharuan. Itu kesan saya dalam menikmati buku ”Kentut Kosmopolitan” yang ditulis Seno Gumira Ajidarma (SGA) ini.

SGA sendiri menyebutnya sebagai ”hanya sebuah obrolan” yang mencoba memahami, menertawakan kelakuan sebagian orang dan diri sendiri. Ambil satu judul ”The Motorcycle People” yang mengamati tingkah akrobatik harian para pengendara sepeda motor yang mendominasi kota besar seperti Jakarta. Satu sepeda motor ditumpangi lima manusia: ”bapak nyetir, ibu membonceng di belakang, dua anak dijepit di antara mereka berdua, dan anak pertama duduk di atas tangki bensin dengan kacamata terlalu besar.” Dengan komentar:”wajah-wajah mereka: bahagia! ... tidak peduli kredit bank macet,...”

Juga ”Bakpao”, yaitu obrolan tentang peran tukang bakpao. ”Bakpao adalah penyelamat. Dalam kemacetan, ketika jam makan tiba, dan perut mulai menggerus ...., bakpao menjadi makanan pengganti yang lumayan.” Barangkali posisi gerobak bakpao itu melanggar hukum, nelonong ke jalur hijau, ditengah jalan sempit. Namun siapakah akan tega mempersoalkannya? Barangkali ada anak kecil sakit menunggu obat yang ditebus dari penjualan bakpao itu.

Banyak judul-judul sejenis itu dalam buku yang terdiri dari 65 judul ini. Kepedulian kepada dunia sekitar, sepanjang jalan, yang sebetulnya bisa menjengkelkan, tapi kalau dipandang secara lain bisa sangat lucu dan haru, seperti: the Story of Mister Cepek atawa Jalan Gronjal, Manusia Toilet, Ojek Sudirma –Thamrin dan sejenisnya. Namun bukan SGA namanya kalau tidak ada sindiran, kritik sosial. Seperti pada judul-judul: Jalan Tol, Puisi Jalan Tol, Listrik Mati, Uang Dengar, Kolonisasi, Jaguar dan Pancasila, dan seterusnya.

Sindiran (menertawakan) juga ditujukan kepada gaya hidup yang dikembangkan kelompok tertentu dalam kehidupan perkotaan, seperti pada judul-judul: Udel Bodong, Politik Busana, Kentut Kosmopolitan, Kartu Nama, SMS atawa Haiku, Istilah-istilah Keren Abis, Berhala, Bahaya Sebuah Ilusi dan lainnya. Pada Udel Bodong misalnya, dikatakan ”Mode yang satu ini bermain-main dengan lingkar pinggang, para pengguna memanfaatkan busana ini untuk bukan hanya sudi dilihat, tetapi memang memperlihatkannya.” Tapi kemudian yang di’kritik’ adalah ketidak jelasan mangsud pemakainya yang lalu sibuk menutupi lingkar pinggangnya – ”Maunya diperlihatkan atau ditutupi sih?”. Sedang Kentut Kosmopolitan yang dijadikan judul buku membahas politik kentut dalam konteks sopan-santun versus kesehatan. Sebagai karikatur bagaimana tujuan kesehatan (faali, alami) sering dikalahkan oleh yang simbolis gaya hidup yang sesungguhnya relatif.

Yang menarik untuk dikaji adalah ternyata ada ”benang merah” kerangka berfikir, kalau boleh disebut begitu, antar keseluruhan judul yang tadinya adalah judul-judul kolom, yang sebagian besar dari tabloid Djakarta! terbitan dari 2004-2008 itu.

Intinya pelajaran yang saya tangkap, sebagai bukan orang budaya. Bahwa ”nilai baik”, dianggap benar, dianggap pantas, terpuji, beradab dan selanjutnya itu bukanlah kebenaran universal alami dari sono nya. Tapi merupakan hasil pergulatan budaya antar pihak, atau antar kuasa. Yang jika berubah hubungan-hubungan kuasanya, maka akan berubah pula nilai-nilai nya. Pesawat terbang arti kata atau denotasi-nya adalah alat angkut lewat udara. Tapi konotasi-nya adalah kendaraan kalangan atas, simbol posisi sosial. Tapi setelah ada penerbangan ekonomis, arti pesawat terbang kembali ke denotasi-nya, sebagai alat angkut saja, sehingga tak apa pakai sandal dan bawa kotak diikat tali plastik.

Konotasi, yang mengandung nilai tinggi/rendah, baik/nista itu diciptakan melalui hegemoni wacana, yang sering oleh pengusungnya dipompakan melalui media dan berbagai kesempatan. Pesannya, tiap kelompok sosial setiap saat harus mengambil sikap atas hegemoni nilai yang mencoba mendominasinya, apakah dengan: menerima, bernegosiasi, atau melawan. [Review oleh Risfan Munir]

Data buku: Seno Gumira Ajidarma, Kentut Kosmopolitan, Penerbit Koekoesan, Agustus 2008. Tebal 295 halaman.