Saturday, November 08, 2008

Kentut Kosmopolitan


Hidup di kota besar seperti Jakarta apalagi sampai tua bisa menghabiskan umur di tempat kerja dan di jalan, bisa membuat manusia (Homo Jakartensis) kehilangan makna alias mehong. Untuk itu diperlukan permenungan, obrolan, setidaknya dengan diri sendiri tentang makna dari pengalaman keseharian yang bisa dikatakan penuh tantangan, impian, ataupun ilusi, kerutinan, kebosanan, juga kelucuan dan keharuan. Itu kesan saya dalam menikmati buku ”Kentut Kosmopolitan” yang ditulis Seno Gumira Ajidarma (SGA) ini.

SGA sendiri menyebutnya sebagai ”hanya sebuah obrolan” yang mencoba memahami, menertawakan kelakuan sebagian orang dan diri sendiri. Ambil satu judul ”The Motorcycle People” yang mengamati tingkah akrobatik harian para pengendara sepeda motor yang mendominasi kota besar seperti Jakarta. Satu sepeda motor ditumpangi lima manusia: ”bapak nyetir, ibu membonceng di belakang, dua anak dijepit di antara mereka berdua, dan anak pertama duduk di atas tangki bensin dengan kacamata terlalu besar.” Dengan komentar:”wajah-wajah mereka: bahagia! ... tidak peduli kredit bank macet,...”

Juga ”Bakpao”, yaitu obrolan tentang peran tukang bakpao. ”Bakpao adalah penyelamat. Dalam kemacetan, ketika jam makan tiba, dan perut mulai menggerus ...., bakpao menjadi makanan pengganti yang lumayan.” Barangkali posisi gerobak bakpao itu melanggar hukum, nelonong ke jalur hijau, ditengah jalan sempit. Namun siapakah akan tega mempersoalkannya? Barangkali ada anak kecil sakit menunggu obat yang ditebus dari penjualan bakpao itu.

Banyak judul-judul sejenis itu dalam buku yang terdiri dari 65 judul ini. Kepedulian kepada dunia sekitar, sepanjang jalan, yang sebetulnya bisa menjengkelkan, tapi kalau dipandang secara lain bisa sangat lucu dan haru, seperti: the Story of Mister Cepek atawa Jalan Gronjal, Manusia Toilet, Ojek Sudirma –Thamrin dan sejenisnya. Namun bukan SGA namanya kalau tidak ada sindiran, kritik sosial. Seperti pada judul-judul: Jalan Tol, Puisi Jalan Tol, Listrik Mati, Uang Dengar, Kolonisasi, Jaguar dan Pancasila, dan seterusnya.

Sindiran (menertawakan) juga ditujukan kepada gaya hidup yang dikembangkan kelompok tertentu dalam kehidupan perkotaan, seperti pada judul-judul: Udel Bodong, Politik Busana, Kentut Kosmopolitan, Kartu Nama, SMS atawa Haiku, Istilah-istilah Keren Abis, Berhala, Bahaya Sebuah Ilusi dan lainnya. Pada Udel Bodong misalnya, dikatakan ”Mode yang satu ini bermain-main dengan lingkar pinggang, para pengguna memanfaatkan busana ini untuk bukan hanya sudi dilihat, tetapi memang memperlihatkannya.” Tapi kemudian yang di’kritik’ adalah ketidak jelasan mangsud pemakainya yang lalu sibuk menutupi lingkar pinggangnya – ”Maunya diperlihatkan atau ditutupi sih?”. Sedang Kentut Kosmopolitan yang dijadikan judul buku membahas politik kentut dalam konteks sopan-santun versus kesehatan. Sebagai karikatur bagaimana tujuan kesehatan (faali, alami) sering dikalahkan oleh yang simbolis gaya hidup yang sesungguhnya relatif.

Yang menarik untuk dikaji adalah ternyata ada ”benang merah” kerangka berfikir, kalau boleh disebut begitu, antar keseluruhan judul yang tadinya adalah judul-judul kolom, yang sebagian besar dari tabloid Djakarta! terbitan dari 2004-2008 itu.

Intinya pelajaran yang saya tangkap, sebagai bukan orang budaya. Bahwa ”nilai baik”, dianggap benar, dianggap pantas, terpuji, beradab dan selanjutnya itu bukanlah kebenaran universal alami dari sono nya. Tapi merupakan hasil pergulatan budaya antar pihak, atau antar kuasa. Yang jika berubah hubungan-hubungan kuasanya, maka akan berubah pula nilai-nilai nya. Pesawat terbang arti kata atau denotasi-nya adalah alat angkut lewat udara. Tapi konotasi-nya adalah kendaraan kalangan atas, simbol posisi sosial. Tapi setelah ada penerbangan ekonomis, arti pesawat terbang kembali ke denotasi-nya, sebagai alat angkut saja, sehingga tak apa pakai sandal dan bawa kotak diikat tali plastik.

Konotasi, yang mengandung nilai tinggi/rendah, baik/nista itu diciptakan melalui hegemoni wacana, yang sering oleh pengusungnya dipompakan melalui media dan berbagai kesempatan. Pesannya, tiap kelompok sosial setiap saat harus mengambil sikap atas hegemoni nilai yang mencoba mendominasinya, apakah dengan: menerima, bernegosiasi, atau melawan. [Review oleh Risfan Munir]

Data buku: Seno Gumira Ajidarma, Kentut Kosmopolitan, Penerbit Koekoesan, Agustus 2008. Tebal 295 halaman.

Saturday, October 18, 2008

Ngapain Nggak Menebar Ilmu

Hidup Cuma Sekali, Ngapain Nggak Menebar Ilmu

“Bantulah tiga orang, sebagai imbalan mintalah masing-masing membantu tiga orang lainnya, maka segera menjadi sembilan, lalu dua puluh tujuh, lalu delapan puluh satu orang....menerima bantuan” Catherine Ryan Hyde dalam novel “Pay-it-Forward”.  

Tidak ada yang membantah bahwa abad ini adalah abad informasi, yang ditandai dengan globalisasi informasi. Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, rasanya tak ada fakta kejadian di sudut manapun di muka bumi ini yang tidak dapat diakses. Kita bisa menontonnya di televisi, lalu mendalaminya lewat internet. 

Berita mengenai rontoknya nilai saham di New York melalui televisi bisa ditonton oleh warga Larantuka di NTT atau Long Nga di pedalaman Kalimantan. Sebaliknya, sakitnya orangutan di pedalaman Kalimantan juga bisa dipantau dari Glasgow di belahan utara Kerajaan Inggris sana. 

Namun apakah arus dan akses ke informasi itu sudah bisa dinikmati semua orang secara merata? Terutama informasi yang betul-betul mereka butuhkan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Jawabannya jelas belum. Angka buta huruf masih cukup tinggi. 

Mungkin saja setiap pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di tanah air nonton televisi tentang kebangkrutan Lehman Brothers di Wall Street, tetapi untuk informasi cara memohon kredit, bahkan cara membuka rekening bank di seberang warungnya, belum tentu semua tahu. Sekarang ini banyak pensiunan yang kesulitan mengambil uang pensiunnya karena tak bisa dan takut menggunakan ATM, sementara bank mengharuskannya untuk transaksi di bawah sekian juta rupiah. 

Kesimpulannya, akses informasi terbuka tapi tak semua orang punya pengetahuan dasar untuk memanfaatkannya. Juga, arus informasi begitu derasnya, bahkan mungkin telalu banyak, tapi bukan yang dibutuhkan oleh seseorang. Yang ada bukan yang dicari, sedang yang dicari tak ada. Sehingga masih ada kesenjangan antara ketersediaan informasi dengan kebutuhan spesifik tiap orang. 

Sementara itu biaya pendidikan dan kursus-kursus dirasakan semakin mahal. Informasi lewat internetpun makin banyak yang berbayar, mesti pakai kartu kredit pula. 

Kondisi ini sebetulnya membuka lebar peluang untuk beramal ilmu ke masyarakat yang membutuhkan. Ilmu, keterampilan dan informasi apapun yang pas untuk mereka yang membutuhkannya. Meminjam istilah Aa Gym, "ladang amal" terbentang luas untuk ditanami tanaman yang bermanfaat. 

Menebar Ilmu

Apa yang dibutuhkan masyarakat bukanlah informasi yang muluk-muluk. Tidak harus teknik bermain saham, ilmu komputer, pertanian organik atau pembiakan benih dengan kultur jaringan. Seringkali informasi yang dibutuhkan cuma cara menggunakan ATM, cara mengisi formulir pendaftaran ini dan itu, bahkan sekedar menunjukkan satu gedung kepada sopir yang mencarinya. 

Ada ungkapan,"trash for someone, treasury for others." Sampah bagi seseorang bisa jadi harta tak ternilai bagi orang lain. Tentu tidak semua dari kita adalah guru, trainer, dosen, apalagi profesor, tapi setidaknya punya informasi, ilmu, pengalaman, atau keterampilan yang bisa dibagikan ke sekitar. Pesan Pak Kiai, sampaikanlah walau satu ayat yang kamu ketahui. Jadi tidak harus menunggu pandai, punya sertifikat atau ijazah tertentu untuk menebar ilmu. 

Kadang-kadang kita melihat atau merasakan "kejanggalan" tertentu pada yang dikatakan atu dilakukan orang di sekitar kita. Kita jengkel karenanya. Tapi nanti dulu, bisa jadi itu tanda peluang atau “ladang amal” bagi kita untuk berbagi pengetahuan untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerjanya.

 

Misalkan kita “terganggu” oleh rekan kerja yang berulang kali salah ucap bahasa asing atau menyebut nama seseorang. Dari pada sebel dan ngrasani-nya, lebih baik memberitahu dengan cara yang enak bagi dia. Atau di warung tenda langganan kita, makanannya sedap, sayangnya seringkali meja dan botol minumannya berdebu. Ini juga peluang untuk sambil pura-pura melap botol secara santai kita sampaikan pentingnya meja bersih untuk menarik pelanggan. 

Tapi menebar pengetahuan tidak cuma yang bersifat korektif, memperbaiki kesalahan seseorang. Jauh lebih luas dari itu ialah menyampaikan informasi tentang info dan teknik baru, yang kita anggap penting diketahui. Soal cara penggunaan komputer, aplikasi MS-word, excel, powerpoint selalu ada teknik yang bisa dibagikan. Juga aplikasi handphone yang semakin smart tapi membingungkan itu. 

Dengar, Bicara, Tulis 

Ilmu atau informasi apa saja yang layak dibagi? Tentu jawabnya adalah informasi atau ilmu apapun, termasuk pengetahuan umum, keterampilan, do-it-your-self, serta yang menyangkut psikologis – membuka kesadaran, perubahan sikap dan motivasi. 

Ada seorang eksekutif wanita yang punya kebiasaan baik tiap pagi, yaitu mengirim SMS kalimat bijak ke beberapa relasinya. Sebagian dia ambil dari ayat suci, kumpulan kata mutiara, ucapan motivator kondang, atau hasil renungannya sendiri. Ini tentu menyegarkan bagi penerimanya. Ini akan menepis kekuatiran Gede Prama (Kompas, 18-10-08) tentang ritual tiap pagi “burung menyanyi, tapi manusia mencaci." 

Namun niat baik ini juga harus disampaikan secara tepat, terutama pesan yang disampaikan secara tatap muka, agar yang bersangkutan tidak tersinggung. Pesan Stephen Covey, "first seek to understand, then to be understood." Dengarkan atau amati apa yang disampaikan orang tersebut, fahami dengan keterbukaan, jangan menghakimi, lalu sampaikan dalam "bahasa" mereka materi ilmu, pesan dan saran kita. 

Kalau yang ingin kita sampaikan ilmu atau keterampilan tertentu, bisa disampaikan secara umum rekan di sekitar, atau lewat maling-list internet. Atau disampaikan pas waktu seseorang bertanya dan menghadapi persoalannya. 

Dengan adanya blog, maka ini adalah media yang netral dan luas untuk menebar informasi umum, ilmu, teknik atau kiat tertentu secara luas, tanpa harus berisiko dicap menggurui atau sok tahu. Tulis blog secara spontan sesuai ilham dan info yang datang, atau menangkap sinyal "radar" tentang apa yang sedang dibutuhkan banyak orang. 

Pay-it-Forward

Lalu apa keuntungan atau imbalannya bagi kita? Jawabannya, kalau ilmu yang kita "jual" ya jelas materi atau keuntungan promosi dan seterusnya. Tapi yang kita bahas disini di luar yang itu. Secara moral kita memang dihimbau untuk selalu mengembangkan dan menyebarkan ilmu. Namun tidak perlu kuatir pula bahwa masih banyak manfaat yang bisa kita dapat dari menebar dan mengamalkan ilmu ini.

Pertama, dengan menyampaikan ilmu atau informasi tertentu kita otomatis akan menstrukturkannya dalam pikiran, menyusun kata. Itu saja sudah menguatkan penguasaan informasi tersebut di otak kita. Apalagi kalau itu menyangkut motivasi keterampilan yang diterapkan. Itu akan memberikan umpan balik untuk meningkatkan kualitas ilmu kita sendiri. 

Kedua, menebar ilmu akan memperluas pergaulan. Hubungan kita dengan orang di sekeliling akan meningkat kualitasnya. Mereka, walau tak mengucapkan, tentu berterima kasih. Ada goodwill atau budi kita disitu. Kata pepatah Jawa, "urip ateken budi." Hidup kita ini bertongkat budi. Sulit kita hidup nyaman kalau hubungan kita dengan orang lain semata berdasarkan transaksi, perhitungan untung/rugi. Hidup cuma sekali kok berhitung terus. 

Ketiga, ilmu yang kita sebarkan tak akan hilang, justru bertambah. Dalam era informasi ini dikenal adanya organisasi pembelajar (learning organization), manajemen pengetahuan (knowledge management). Artinya pengetahuan dan proses pembelajar diakui sebagai kekayaan organisasi (bisnis atau sosial) yang tak ternilai harganya. Dan untuk membangun organisasi pembelajar itu langkah pertama yang perlu dilakukan tiap individu ialah berbagi ilmu dan informasi. Jika sebagian besar individu malakukannya, maka segera terbentu komunitas yang menyebarkan dan menerapkan pengetahuan tersebut, membentuk community of practice, komunitas pengguna dan pengembang pengetahuan. 

Keempat, langkah penyebaran ilmu ini juga bisa jadi gerakan "memperbaiki dunia", kalau dilakukan konsisten, menerus dan sistematis, walau upaya masing-masing kecil saja. Beberapa tahun lalu ada film yang diangkat dari buku dengan judul sama, yaitu "Pay-it-Forward". Buku dan film itu didasarkan atas kisah pengalaman yang nyata. Kisahnya tentang orang yang suka menolong, tapi tak mau dibayar atau dibalas jasanya. Yang dia minta hanyalah, "Balaslah itu dengan menolong tiga orang lain, dan mintalah tiap orang tersebut membalasnya ke tiga orang lainnya lagi." Oleh karena para penerima bantuan itu meneruskannya, maka multi level perbuatan baik dan keihlasan yang serentak meluas bak gelombang “tsunami” positif yang memperbaiki kualitas kehidupan di bumi. Kalau ide ini kita terapkan dalam menebar ilmu, maka tak mustahil akan terjadi revolusi peningkatan kecerdasan bangsa, tanpa harus menyedot alokasi anggaran sektor pendidikan yang 20% dari APBN itu.

Kesimpulannya. Banyak hal yang memprihatinkan yang terjadi di sekitar kita yang mengelitik nurani untuk kita menyumbangkan sesuatu. Dari pada mencari dan menunggu, langkah paling mudah ialah menyebarkan informasi, ilmu, keterampilan ataupun motivasi. Apapun ilmu tersebut, jangan menunda lagi. Seperti kata bijak "think big, start small, act now." Berfikir besar, mulai dari yang kecil, tapi lakukan sekarang juga. (Risfan Munir, penulis praktek manajemen dan perencanaan).