Perkelahian antar warga di terminal Pasargede kali ini lebih parah dari sebelumnya. Lebih banyak yang luka parah karena masing-masing pihak menggunakan senjata tajam. Ini yang sangat memukul perasaan Anang. Upayanya untuk mempertahankan kesempatan kerja bagi dia dan teman-temannya berada di ujung tanduk.
Keadaan menjadi runyam. Sulit baginya menjelaskan ini semua kepada Pak RW. Dia sudah berjanji kepada Pak RW akan mengendalikan teman-temanya sesama pedagang kaki lima, pengasong dan juru parkir untuk tidak membuat keributan. Tetapi keributan yang dipicu oleh Jahal dan kawanan pemalak itu memang sudah keterlaluan. Apa mereka tidak tahu berapa pendapatan pengasong koran, makanan, atau pedagang di emperan toko.
Meskipun demikian Anang masih optimis bisa meyakinkan Pak RW. Beliau tentu masih ingat reputasi dia yang mengangkat nama RW sebagai juara cerdas-cermat sekaligus karate di tingkat kabupaten. Oleh karena itu diberanikannya untuk berbicara lagi dengan Pak RW.
"Dik Anang, sudahlah. Niat baik mu tidak saya ragukan. Tetapi..." perkataan pak RW ini segera disela Anang,
"Tapi Pak RW, mohon dipahami perkelahian ini tidak dimulai oleh para pengasong dan pedagang, tapi Jahal dan komplotan pemalaknya."
"Saya tahu Dik Anang, tapi dengan perkelahian ketiga yang memakan korban jiwa ini warga betul-betul resah," sambung Pak RW.
"Pak RW, saya tetap yakin jalan musyawarah masih bisa dilakukan. Bukankah lingkungan terminal ini sumber nafkah bagi kita semua, bahkan kita semua lahir dan besar disini," bujuk Anang.
"Sudah terlambat Dik Anang, karena dengan adanya korban jiwa maka aparat keamanan sudah turun, mereka akan menyelidik dan menindak sesuai prosedur." kata Pak RW menutup pembicaraan sore itu.
Operasi keamanan berarti juga penertiban, atau pengusiran para pengasong, pedagang kaki lima, warung-warung nasi atau kopi. Penggusuran lagi! Sial! Batin Anang. Aku berhenti sekolah karena Ayah kiosnya karena tidak mampu menebus kembali setelah Pasargede direnovasi. Dan terpaksa berjualan asesori handphone di kaki lima dengan pendapatan tak pernah cukup karena setiap saat ditindak Satpol PP, sisa pendapatan habis untuk membayar tebusan. Sebetulnya pendapatanku saat ini cukup baik untuk meringankan beban orang tua menyekolahkan dua adik di SD dan SMP. Setelah mendapat kepercayaan sebagai koordinator pengasong koran, rokok-permen dan mainan anak-anak. Pengalamanku sebagai ketua kelas dan koordinator olah raga di SMP dulu ternyata ada gunanya.
Setelah Pak RW menyerah, dan situasi memburuk, maka tidak ada cara lain untuk memperbaiki keadaan kecali bicara langsung dengan Jahal, si biang kerok. Demikian pikir Anang. Ini tidak hanya membutuhkan strategi, tetapi juga pendekatan psikologis atau persuasi. Dia mengenal Jahal dengan baik, karena sama-sama lahir dan besar di kampung ini. Namun memang tidak pernah akrab. Jahal sejak di SD memang suka berkelahi, mengancam teman sekelas untuk memberikan alat tulis, kadang permen atau makanan yang kebetulan dibawa. Jahal akhirnya putus sekolah dua kali tidak naik kelas. Mungkin Jahal juga punya dendam pribadi kepadanya mengingat waktu sama-sama latihan kerate beberapa tahun lalu keduanya sering keduanya berhadapan saat latihan berpasangan. Dan pernah secara tidak sengaja Anang mencederai kaki Jahal akibat tendangan samping.
Pesan yang dikirim Anang melalui penjaga warung kopi itu sampai ke Jahal, dan pertemuan diadakan di warung kopi di pojok terminal. Di situ Anang menjelaskan ajakannya untuk berdamai, dan agar tekanan para pemalak kepada pengasong dan pedagang kaki lima dikurangi.
"Tidak bisa Nang, setoran keamanan itu tetap harus dibayar," jawab Jahal, disambung, "sewaktu kamu masih sekolah aku dan teman-teman ku sudah disini. Ini wilayahku, sumber penghasilanku. Jadi jangan sok pahlawan. Kenapa sih kamu tidak bekerja kantoran, atau merantau ke Jakarta, Malaysia atau Saudi sekalian."
Sementara mendengar jawaban Jahal mata Anang sempat melihat dua lelaki tegap berjaket loreng di bayang-bayang pohon kersen di belakang warung.
"Ini kampung dan wilayah kita semua Bul. Jangan mimpi jadi raja atau bos mafia disini. Semua teman kita lahir, besar dan cari nafkah disini. Kita semua harus kerja. Jangan cuma memalak teman sendiri," balas Anang.
"Terserah, pokoknya kalau anak-anak asongan dan pedagang tidak setor jangan harap barang dagangan mereka selamat. Memangnya mereka bisa dagang seenaknya dengan gratis?!" tanggap Jahal menutup pembicaraan.
Pupus sudah harapan pikir Anang. Sementara itu dalam perjalanan pulang Anang tiba-tiba ingat dua laki-laki berjaket loreng di belakang warung tadi. Walapun di kegelapan Anang masih bisa mengenali posturnya, yang satu tinggi-tegap yang kedua pendek kekar. Rasanya keduanya sudah beberapa kali datang ke lingkungan terminal ini.
Betul apa yang dikatakan Pak RW, sema sudah terlambat. Adanya korban perkelahian yang akhirnya ada dua orang meninggal seorang pengasong dan seorang pemalak, membuat para aparat melakukan penertiban. Semua tenda kaki lima dibongkar paksa, pedagang dorongan dilarang, pengasor diusir. Dan proses pengadilan dimulai.
Semula Anang tenang-tenang saja karena toh dirinya hanya sebagai saksi. Siapa yang tidak tahu lah kejahatan Makbul dan kawan-kawannya. Tetapi dia mulai kaget setelah pada persidangan ketiga dia beralih posisi menjadi tersangka pengorganisir perkelahian masal itu, bukan Makbul. Ia kaget setengah-mati. Ia protes, dan disampaikannya lewat pembelanya. Betul-betul sulit dimengertinya, kenapa malah dia yang mengkoordinir aksi membela diri para pengasong dan pedagang yang dianggap pemicu perkelahian. Ancaman 3 tahun penjara bukan main-main.
Namun keheranannya makin bertambah setelah mengetahui bahwa dua saksi yang memberatkannya adalah dua orang yang posturnya dia ingat persis seperti dua pria berjaket tentara yang dilihatnya beberapa kali di sekitar terminal. Yang satu tinggi tegap, yang kedua pendek kekar.
Malang tak dapat ditolak. Dua tahun harus dijalani oleh Anang di dalam penjara. Orang tuanya sangat terpukul, satu harapan hidupnya sirna. Sementara usaha jualan asesori handphone ayahnya kian sulit setelah dilarang bedagang di sekitar terminal. Setelah semua peluang buntu, maka ayahnya membawa ibu dan dua adik Anang ke desa karena kata seorang famili ada proyek pembangunan lintas selatan yang membutuhkan banyak buruh pemecah batu.
Seorang pedangang kaki lima yang menengok Anang dipenjara mengabarkan bahwa terminal, pasar dan sebagian kampung mereka sekarang dibongkar. Akan dibangun pusat perbelanjaan katanya. Terminalnya dipindah ke pinggir kota. Seorang pengasong koran menceritakan bahwa Makbul sekarang jadi kepala regu keamanan di proyek pembangunan pusat perbelanjaan itu. Katanya Jahal mendapatkan posisi itu karena jasanya membantu menumpas perlawanan warga yang menentang proyek itu. (Risfan Munir)
Tuesday, January 23, 2007
Thursday, January 11, 2007
Balada Metropolitan (5)
Metropolitan adalah sinar petromaks yang mengundang rama-rama membakar diri jadi abu; pemimpi-pemimpi mengisap candu; perawan-perawan jadi perayu; pemuda-pemuda perkasa jadi kuli-kuli berpenyakit paru-paru; gadis-gadis ayu jadi pelacur-pelacur sayu. Bahkan kiai, pendeta dan biksu disulap jadi penjual jamu.
Metropolitan adalah sinar petromaks yang menyinari penyanyi ndangdut memutar pusar, menggoyang pinggul; remang-remang lampu merah tempat para wakil rakyat melepas lelah membujuk penyoblos dengan menyoblos, seraya hambur limpahan tunjangan.
Metropolitan adalah gurita yang menghisap uang-uang menjadi hutang-hutang daerah; kemakmuran desa menjadi angka-angka agregat semu pelipur lara; penghias rapor good-boys, good-girls dimata kreditor.
Metropolitan adalah habitat para pemimpi, yang warganya hidup bersendi mimpi, menikmati mimpi, mendagangkan mimpi, menyebar mimpi lewat tivi, majalah, koran, cerita saat lebaran, natal, tahun baru, valentin day. Dan mengalirlah masuk para pemimpi, meringsek, memadati.
Metropolitan adalah raksasa yang meludahkan lumpur lapindo, sampah-sampah; menyemburkan api membakar hutan-hutan; mengundang banjir-banjir di berbagai penjuru. Hentakannya menenggelamkan kapal; melengser kereta dari rel; menyulap hilang pesawat terbang; mengusir petani dari ladang-ladangnya; tanah-tanah subur menghijau jadi gurun kering merekah-rekah.
Dan datanglah musim....
Manakala metropolitan menjadi gerbang bagi lokomotif yang menarik gerbong-gerbong bermuatan uang, emas, timah, balok-balok kayu menuju tanah idaman setengah ada setengah semu, melalui Jakarta, Singapura, Hongkong, Tokyo, Los Angeles, New York, London, kembali ke Singapura, Hongkong, dst....kian juah ditelan awan....
Kemudian pawangnya akan berkata, "My dear...awan akan menjelma jadi hujan investasi, asal anak-anak bertindak baik, kondusif, kompetitif tapi patuh, demokratis tapi tidak neko-neko; rajin duduk di depan tivi, nonton acara yang disarankan, sambil makan yang diiklankan, minum yang diiklankan, pakai piyama yang diiklankan; agar kalau sakit sesuai yang distatistikan, dan minum obat yang diiklankan.”
Metropolitan adalah gerbang menyambut datangnya kontainer-kontainer yang hingar-bingar, bergemuruh membawa mobil mewah/murah, motor mewah/murah, elektronika mewah/murah, garment mewah/rejected, boytoys, girltoys, momytoys, branded goods, branded foods, branded drinks, beras penyangga, buah penyangga, pupuk penyangga...sampah B-3 penyanggah. Untuk terus ke kota besar, kota sedang, kota kecil, desa makmur, desa miskin, desa terisolir, desa tanpa nama. Gelombang demi gelombang.
Dan datanglah kemarau ....
Manakala berbaris-baris bus, microbus, truk, pick-up, gerobak ditarik kuda, ditarik sapi, ditarik manusia, sepeda motor, sepeda..masuk metropolitan dari arah matahari datang, dari arah matahari pergi, dari arah gunung, dari arah laut. Membawa laki-laki, perempuan-perempuan, gadis-gadis, anak-anak, bayi-bayi....masuk metropolitan. Yang segera menempati taman-taman, lapang-lapang, trotoar-trotoar, emper-emper. Yang segera melompati pagar-pagar, pintu-pintu. Yang kala diberi aba-aba segera mencopet, menggarong, merampok, memerkosa, ...... Gelombang demi gelombang.
Sampai di senja kala.......
Metropolitan menjadi raksasa yang kegemukan, kesesakan, gerah dan lelah dan bosan, dia akan melepas cangkang bersalin baju longgar bernama megapolitan (Risfan Munir).
Metropolitan adalah sinar petromaks yang menyinari penyanyi ndangdut memutar pusar, menggoyang pinggul; remang-remang lampu merah tempat para wakil rakyat melepas lelah membujuk penyoblos dengan menyoblos, seraya hambur limpahan tunjangan.
Metropolitan adalah gurita yang menghisap uang-uang menjadi hutang-hutang daerah; kemakmuran desa menjadi angka-angka agregat semu pelipur lara; penghias rapor good-boys, good-girls dimata kreditor.
Metropolitan adalah habitat para pemimpi, yang warganya hidup bersendi mimpi, menikmati mimpi, mendagangkan mimpi, menyebar mimpi lewat tivi, majalah, koran, cerita saat lebaran, natal, tahun baru, valentin day. Dan mengalirlah masuk para pemimpi, meringsek, memadati.
Metropolitan adalah raksasa yang meludahkan lumpur lapindo, sampah-sampah; menyemburkan api membakar hutan-hutan; mengundang banjir-banjir di berbagai penjuru. Hentakannya menenggelamkan kapal; melengser kereta dari rel; menyulap hilang pesawat terbang; mengusir petani dari ladang-ladangnya; tanah-tanah subur menghijau jadi gurun kering merekah-rekah.
Dan datanglah musim....
Manakala metropolitan menjadi gerbang bagi lokomotif yang menarik gerbong-gerbong bermuatan uang, emas, timah, balok-balok kayu menuju tanah idaman setengah ada setengah semu, melalui Jakarta, Singapura, Hongkong, Tokyo, Los Angeles, New York, London, kembali ke Singapura, Hongkong, dst....kian juah ditelan awan....
Kemudian pawangnya akan berkata, "My dear...awan akan menjelma jadi hujan investasi, asal anak-anak bertindak baik, kondusif, kompetitif tapi patuh, demokratis tapi tidak neko-neko; rajin duduk di depan tivi, nonton acara yang disarankan, sambil makan yang diiklankan, minum yang diiklankan, pakai piyama yang diiklankan; agar kalau sakit sesuai yang distatistikan, dan minum obat yang diiklankan.”
Metropolitan adalah gerbang menyambut datangnya kontainer-kontainer yang hingar-bingar, bergemuruh membawa mobil mewah/murah, motor mewah/murah, elektronika mewah/murah, garment mewah/rejected, boytoys, girltoys, momytoys, branded goods, branded foods, branded drinks, beras penyangga, buah penyangga, pupuk penyangga...sampah B-3 penyanggah. Untuk terus ke kota besar, kota sedang, kota kecil, desa makmur, desa miskin, desa terisolir, desa tanpa nama. Gelombang demi gelombang.
Dan datanglah kemarau ....
Manakala berbaris-baris bus, microbus, truk, pick-up, gerobak ditarik kuda, ditarik sapi, ditarik manusia, sepeda motor, sepeda..masuk metropolitan dari arah matahari datang, dari arah matahari pergi, dari arah gunung, dari arah laut. Membawa laki-laki, perempuan-perempuan, gadis-gadis, anak-anak, bayi-bayi....masuk metropolitan. Yang segera menempati taman-taman, lapang-lapang, trotoar-trotoar, emper-emper. Yang segera melompati pagar-pagar, pintu-pintu. Yang kala diberi aba-aba segera mencopet, menggarong, merampok, memerkosa, ...... Gelombang demi gelombang.
Sampai di senja kala.......
Metropolitan menjadi raksasa yang kegemukan, kesesakan, gerah dan lelah dan bosan, dia akan melepas cangkang bersalin baju longgar bernama megapolitan (Risfan Munir).
Subscribe to:
Posts (Atom)