Sunday, December 16, 2007

Berkenalan dengan NLP (Neuro Linguistic Program)

Seorang instruktur memberikan komando, “Sambil tetap tutup mata, bernafas dengan teratur. Rileks, rileks, rileks. Sementara itu bayangkan di tangan ada irisan jeruk nipis, bayangkan perlahan buka mulut, lalu peraslah jeruk itu perlahan, rasakan tetes-tetesan airnya jatuh pada lidah…..rasakan asamnya, ya asam sekali, peras lagi, ya akin asam lagi …” Walaupun itu hanya khayalan, bagaimana reaksi air ludah di mulut kita, bagaimana raut muka kita saat membayangkan tetesan air jeruk nipis dan rasanya yang sangat asam. Begitulah awal perkenalan saya dengan NLP, dengan satu prinsip atau bahwa pikiran bisa “menipu, memperdaya atau mengakali” respons spontan yang tidak kita sadari (unconscious mind).

Apakah NLP itu?

Awalnya adalah pikiran. Kita bersikap, bertindak karena ada dorongan dari pikiran. Sedang pikiran sendiri dipengaruhi atau dipicu oleh stimulan tertentu dari luar maupun dari dalam diri kita. Misalnya, pagi-pagi kita membaca berita yang terkait dengan ide kita menulis, yang selama ini sudah kita lupakan. Gara-gara stimulant berita tersebut, memori dalam pikiran kita terkuak kembali, sehingga timbul hasrat kita untuk menulis topik tersebut lagi. Atau, dari dalam diri, karena kondisi kesehatan kita yang memburuk, maka kita jadi murung, atau jengkel karena tugas menumpuk tapi badan tidak bisa diajak kerja sama. Akibatnya, seharian kita bisa murung, jengkel, yang akhirnya mengganggu kegiatan yang lain, dan raut muka yang kusam, kata-kata yang murung membuat reaksi orang disekitar kita juga negative.

Pertanyaannya adalah: apakah pikiran kita, dan tindakan yang mengikutinya hanya menjadi suasana, dari luar maupun dari dalam diri? Padahal mestinya kan pikiran kita yang mengendalikan, bukan dikendalikan. Idealnya kan dengan “pimpinan” ide dan kesadaran yang ada dalam pikiran tersebut, semua sikap dan tindakan dapat diarahkan dan dikendalikan. Jika kita tiap hari disodori dengan persoalan kemacetan lalu lintas, korupsi, harga minyak, yang semua membuat pikiran kita “murung dan jengkel”, apa kita seumur hidup akan menjadi korban dari kondisi dan situasi buruk tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan itulah NLP memberikan pemahaman yang dapat dipakai untuk menjelaskan “kuasa” pikiran, tapi juga sekaligus juga pelajaran, teknik-teknik bagaimana mempengaruhi, bahkan “mengakali” pikiran, agar dapat berfikir sesuai dengan yang kita harapkan. Oh ya, NLP adalah singkatan dari neuro linguistic program, yang secara bebas dapat dimengerti sebagai “bahasa pemrograman pikiran” kita. Ini dapat dianalogkan dengan bahasa program computer seperti SQL, html, dan seterusnya.

Salah satu prinsip NLP menyatakan “the map is not the territory”, ini adalah prinsip penting yang menyatakan bahwa yang ada dalam pikiran kita adalah proyeksi atau kesan dari ”realita”, dan bukan realita yang sesungguhnya. Proyeksi atau kesan atau persepsi atas realita tersebut terbentuk di pikiran setelah melalui “saringan” (filter) pengetahuan dan pengalaman pribadi kita sendiri. Artinya, untuk “realita” yang sama setiap orang bisa punya kesan yang berbeda. Gelas “setengah isi” bagi seseorang bisa dilihat sebagai “setengah kosong” bagi yang lain, sehingga sikap dan reaksi tiap orang bisa berbeda.

Dengan prinsip itu, maka sebetulnya pikiran kita punya pilihan kesan, sikap, yang berimplikasi kepada tindakan. Dengan mempelajari NLP, diharapkan bahwa kita dapat memilih sikap pikiran tersebut secara “yang kita kehendaki”, tidak sekedar reaktif terhadap situasi luar yang “memprovokasi” pikiran. Sebaliknya kita berharap dapat mengelola sikap dan reaksi pikiran tersebut.

Jadi, sekali lagi, NLP dapat dimengerti sebagai bahasa untuk kita berdialog dengan “pikiran” sendiri.

Mengapa NLP?

Ya, mengapa kita memerlukan hal seperti NLP ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, baiklah kita fahami dulu perlunya berdialog dengan pikiran sendiri. Selain agar pikiran kita bisa “memimpin” dan tidak mudah reaktif seperti diuraikan di atas, kita juga perlu berdialog dengan pikiran sendiri ini agar bisa mengembangkan pilihan-pilihan sikap dan tindakan sebagai respons kita atas situasi yang yang memicu kita dari luar. Misalnya, menghadapi “tekanan” karena berita banjir dan kelambatan pemerintah daerah dalam bertindak. Pikiran bisa kita arahkan untuk memilih sikap: marah, atau pasrah masa bodoh, atau secara positif melihat peluang untuk membantu (beramal).

Tetapi apakah sebegitu mudahnya kita berdialog dengan pikiran? Karena, boleh jadi begitu membaca tentang kejadian banjir, melihat foto korban, dan mendengar penyataan pejabat yang tidak pas, emosi kita langsung meluap, pikiran hanya marah, atau berkata “ah bosan”. Apakah kita bisa mengendalikan pikiran yang spontan seperti itu, yang bereaksi spontan di luar kesadaran (unconscious)? Jawabannya adalah bisa. Dan itulah salah satu manfaat dari NLP, karena dengan ”bahasa program pikiran” ini dimungkinkan untuk berdialog dan mengendalikan pikiran hingga kepada tingkatan ”bawah sadar” (sub-conscious).

Dengan teknik NLP yang memungkinkan kita untuk mengakses pikiran ”bawah sadar”, maka dimungkinkan untuk dapat berdialog dan mempengaruhinya melalui ”pintu” dan bahasa yang dimengerti oleh pikiran ”bawah sadar” tersebut. Sebagai contoh kita juga bisa berdialog dengan pikiran ”bawah sadar” tersebut tentang mengapa kita melakukan kebiasaan-kebiasaan ”buruk” yang sebetulnya dalam keadaan sadar ingin kita hindari atau hentikan. Ini misalnya bagi yang ingin berhenti merokok, minum alkohol, ngemil makanan manis-manis. Sudah banyak upaya untuk menghentikan, mengalihkan dengan sesuatu pengganti (substitusi) tapi kok ya masih mengonsumsinya terus.

Jadi, NLP sebagai bahasa program pikiran, bermanfaat bagi kita untuk bisa berdialog dengan pikiran hingga tingkatan ”bawah sadar” (subconscious), yang akan bermanfaat untuk mengendalikan pikiran dan sikap atau tindakan yang sering spontan, di luar kontrol, dan sulit dikendalikan (unconscious).

Pintu Masuk ke Pikiran Bawah Sadar

Telah disinggung di atas, bahwa untuk mengakses atau berkomunikasi dengan pikiran bawah sadar perlu melalui ”pintu”, yaitu yang disebut recticular activating system (RAS) atau ”kisi-kisi penyaring” yang akan terbuka kalau pikiran seseorang berada dalam kondisi yang tenang, rileks, berfokus hanya satu perhatian saja, situasi dengan gelombang 7-13 cps (putaran per detik), antara sadar dan seperti akan tidur. Situasi yang disebut Alpha di atas.

Dengan terbukanya kisi-kisi atau filter, maka pikiran sadar yang sebenarnya maksimal hanya 12% dari kemampuan otak yang sesungguhnya akan terhubung dengan yang 88%, yang merupakan pikiran bawah sadar. Dapat dibayangkan betapa bermanfaatnya kalau seseorang dapat meningkatkan kemampuan berfikirnya dengan membuka dan mengakses potensi pikiran sesungguhnya.

Untuk itu disarankan untuk sebanyak mungkin melatih diri agar bisa lebih sering berada dalam posisi Alpha, sehingga apa-apa yang dibaca, didengar, diamati bisa masuk ke dalam memori dengan baik. Sebaliknya akan semakin besar pula kapasitasnya untuk dapat mengakses, mendaya gunakan memori yang ada pada pikiran bawah sadar, makin lancar (encer) dan makin mudah menghubungkan satu informasi dengan informasi lainnya. Bukankah sebenarnya berpikir adalah menghubungkan satu informasi dengan informasi lainnya di dalam pikiran. Dan, para ahli juga mengatakan makin sering terjadi hubungan satu bagian dengan bagian lainnya di dalam otak, maka makin ”kuat” lah saluran darah di antaranya. Dengan kata lain makin cerdaslah orang itu.

Bahasa Program Pikiran

Setelah pintu kisi-kisi penyaring (RAS) antara pikiran sadar dan bawah sadar dapat dibuka, maka apa yang akan dikomunikasikan antara keduanya? Ini tentu tergantung dari tujuan orang tersebut, bisa untuk memasukkan atau memanggil memori seperti analogi dengan cara kerjanya komputer. Namun untuk kepentingan obrolan atau diskusi kita yang menyangkut ”sikap dan perubahan perilaku atau kebiasaan”, maka yang perlu dibahas adalah ”bahasa program” yang terkait dengan sugesti tersebut.

Terkait dengan sugesti, para ahli menyatakan bahwa pikiran bawah sadar hanya mengenal ungkapan bahasa yang, positif, sekarang, bersifat pribadi, dan spesifik. Positip contohnya,”aku penulis cepat,” jangan katakan,”aku bukan penulis lambat,” karena kata ”tidak” itu tak dibaca. Kedua, sekarang, maksdunya hindari penggunaan kata ”sedang/akan/mau,” karena akan melemahkan sugesti. Ketiga, bersifat pribadi, contohnya, ”aku bekerja keras untuk membiayai anak” dan bukan ”anakku rajin belajar,” karena anak bukan pribadi kita sendiri. Keempat, spesifik besaran, waktu, warna, dan seterusnya.

Pikiran bawah sadar juga lebih mudah berkomunikasi dengan bahasa non-verbal, yaitu simbol, warna, bunyi irama, rasa atau raba atau visual, auditory, kinetetic (VAK); daripada bahasa verbal berupa argumentasi kata-kata atau formula angka-angka. Ini bisa dibuktikan dengan, misalnya kita lebih mudah mengingat irama lagu, daripada syairnya. Silahkan mengingat lagu lama, yang dulu pernah menjadi favorit. Lebih mudah mana mengingat irama lagu atau liriknya?

Pemahaman bahasa program pikiran ini penting agar kita (pikiran sadar) dapat berkomunikasi dengan lebih baik dengan pikiran bawah sadar. Seperti telah disinggung, manfaatnya bisa untuk memanggil memori, menghubungkan antar informasi, memberi sugesti dan motivasi kepada diri sendiri, dan seterusnya.

Risfan Munir, konsultan, pelatih di bidang manajemen dan perencanaan, serta penulis buku “Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif” (2006). Tinggal di Jakarta, email: risfano@yahoo.com.

No comments: