Sudah lebih dari lima tahun aku bekerja sebagai manajer dengan tiga orang asisten: Rohayali, Realy dan Kristanti. Mereka kusebut tiga serangkai. So far, kerjasama tim kami sangat efektif. Ini dapat dibuktikan dengan karya tim yang kontrubusinya kepada pendapatan perusahaan meningkat terus. Atas prestasi itu kami mendapatkan ruang kerja baru, yang luasnya tiga kali ruang semula.
Namun justru dalam urusan menata interior ruang kerja baru ini, tiga serangkai ini terperangkap kepada perdebatan yang berkepanjangan. Menurutku sudah terlampau emosional, dan mengganggu pekerjaan utama.
Mengenai penyiapan kantor baru ini, Realy yang biasa praktis realistis hanya membayangkan teknis memindahkan furnitur dan barang-barang secepatnya ke ruangan yang baru. Namun tidak demikian bagi Rohayali dan Kristanti.
Rohayali, seperti biasa penuh dengan ide-ide inovatif yang mencengangkan, dengan alternatif-alternatif yang sungguh tak terbayangkan sebelumnya. Untuk interior kantor kami yang baru dia sudah membuat sketsa kreatif, untuk layout, furnitur, hingga hiasan dinding dan assesori vas bunga dan sebagainya. Tapi baru saja sketsa itu ditayangkan dengan in-focus ke dinding, Kristiani dengan cepat dan tajam langsung mengkritik rancangan layout dan furnitur yang belum sempat dijelaskan latar belakang desain dan manfaatnya. Kristanti sang kritikus terus nerocos mengeluarkan kritiknya, bahkan sudah menjurus kepada penilaian sepeti norak, boros dst.
Rohayali tadinya bersikap cuek saja. Dengan semboyan ”anjing mengonggong kafilah berlalu” . Tapi karena tiap tampil dikritik, tampil dikritik, tampil dikritik. Maka lama-lama jemu juga dia. Lalu alih-alih mengoreksi rancangannya, dia mulai menyerang balik. Maka terjadilah baratayudha, adu mulut, sindiran, ngambeg, dll, dst. Wal hasil bukan hanya soal rancangan interior kantor yang macet, pekerjaan utama melayani client juga ikut terganggu.
Aku sendiri bukannya tidak mau ikut kontribusi, atau mengintervensi perdebatan berkepanjangan tersebut. Tetapi karena sudah berkomitmen untuk memberi keleluasaan kepada mereka untuk berkreasi, mau tidak enak kalau tiba-tiba turut campu, apalagi kalau dianggap memihak. Akhirya, untuk menghindari kesan, aku minta seorang teman, yang konsultan juga untuk memberikan advisnya. Jeruk makan jeruk, seperti begitulah.
Saran Mr. Advis ini setelah berbicara dengan masing-masing satu demi satu. Mr. Advis memberi saran yang simple saja, yang membuat saya sedikit merasa rugi telah mengundangnya. Dia sarankan agar dibuat aturan main. Pertama, minta Rohayali yang bicara dan menjelaskan seluruh konsep dan rancangannya sampai tuntas, beri waktu sesuai yang dimintanya. Lalu beri kesempatan Realy yang realistis itu memberikan komentar, agar rancangan yang ideal dari Rohayali itu dilihat kemungkinan keparktisan pengerjaannya. Kemudian baru dipersilahkan Kristanti yang kritis itu untuk mengkritisi konsep yang telah dibahas keduanya.
“Setelah ketiganya diberi kesempatan berkontribusi, silahkan Rohayali yang kreatif merespons pada rancangannya, dilanjutkan Realy untuk mempertajam aspek implementasi termasuk penjadwalan, penganggaran dan ketersediaan material dan sebagainya. Dan Kristiani diminta untuk mengkritisi secara konstruktif, mana-mana yang kurang, argumentasi yang masih lemah, yang mungkin akan dipakai orang lain, terutama dari financial management yang selalu ingin membantai proposal apapun dari Tim ini”.
Sekarang aku bisa tersenyum, setelah tiga aktor di kepalaku ini kuberi kesempatan masing-masing untuk menunjukkan kontribusinya. Seperti layaknya dalam keluarga, masing-masing bagian kayaknya perlu diberi kesempatan berekspresi. Walhasil, proposal kelar, percaya diri mekar.***
Friday, December 22, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment